Rabu, 24 Juni 2009

Etika dan Tanggung Jawab Ilmuan dalam Menetapkan suatu Ilmu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia sebagai makhluk yang berakal budi tidak henti-hentinya mengembangkan pengetahuannya. Sehingga ilmu pengetahuan berkembang sangat cepat dan tidak terbendung. Luaran ilmu pengetahuan yang perkembangannya begitu pesat adalah teknologi, seperti tampak dalam teknologi persenjataan, komputer informasi, kedokteran, biologi dan pangan.

Dampak positif dari kemajuan sains dan teknologi sangat besar yang telah kita rasakan setiap hari. Kemajuan yang paling menonjol adalah bidang teknologi informasi. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti internet, komunikasi antara manusia di dunia ini menjadi sangat cepat, tepat dan transparan. Dengan kemajuan itu semua, dunia yang tadinya terasa luas dan besar, kini terasa kecil karena jarak tidak lagi sangat menentukan. Apa yang terjadi di suatu belahan bumi akan diketahui di tempat lain sehingga hampir semua kejadian dapat diketahui dari tempat manapun. Penemuan dan kemajuan sains dan teknologi oleh para ahli di suatu negara dengan cepat dapat diketahui oleh para ahli dari negara lain sehingga hasilnya cepat dapat digunakan oleh banyak orang. Kemajuan sains dan teknologi juga telah mengubah hidup manusia. Berbagai kemajuan itu telah memungkinkan manusia mampu memecahkan hamper semua persoalan mereka

Akan tetapi, di sisi yang lain kita melihat bahwa berbagai kemajuan tersebut juga membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia seperti lingkungan hidup yang tidak nyaman, ketidakadilan dan bahkan penghancuran kelompok manusia. Dalam bidang biologi misalnya, kalangan ahli biologi kini mampu mengembangkan apa yang disebut sebagai cloning yang bisa diterapkan pada tumbuhan, hewan, dan sangat mungkin juga pada manusia. Dengan rekayasa cloning ini, para ahli memang dapat menciptakan mahluk baru tanpa melalui pembiakan sebagaimana lazimnya. Termasuk dalam menciptakan organ manusia yang diperlukan untuk memperbaiki atau memperbarui organ yang rusak. Namun masalahnya tentu akan lain, jika praktek cloning itu dilakukan untuk menciptakan manusia baru. Keinginan untuk menciptakan manusia tanpa melalui perkawinan seperti ini, bahkan sudah memicu munculnya pro-kontra diantara para ahli yang mendukung dan yang menentangnya. Bila tidak disikapi secara kritis, praktek cloning manusia itu, bisa melahirkan dampak negatif dalam kehidupan manusia sendiri.

Dampak terburuk yang bisa terjadi bila praktek cloning manusia itu dibiarkan adalah kemungkinan hilangnya kesadaran bahwa mereka adalah mahluk ciptaan Tuhan. Kenyataan bahwa mereka bisa menciptakan segalanya dengan cloning, bisa jadi justru akan membuat mereka melupakan Sang Pencipta sendiri.

Kemajuan ilmu pengetahuan tersebut bila tidak disertai dengan nilai etika akan menghancurkan hidup manusia sendiri seperti terbukti dengan perang Irak, pemanasan global, daya tahan manusia yang semakin rendah, kemiskinan sebagian penduduk dunia, makin cepat habisnya sumber alam, rusaknya ekologi, dan ketidakadilan.

Tidak menutup kemungkinan, sains dan teknologi akan berkembang lebih besar seiring perubahan zaman. Seorang ilmuan akan menemukan suatu inovasi dan penemuan baru sehingga sesuatu yang dirasa tidak mungkin pada zaman dulu, bisa menjadi mungkin terjadi. Hal tersebut dapat merubah budaya, ideologi dan kebiasaan masyrakat dunia.

Dari beberapa penjelasan di atas, pertanyaan yang secara etis dan kritis harus diajukan adalah, apakah seorang ilmuan dapat serta merta mempublikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ia temukan kepada khalayak umum? Nilai kemanusiaan sebagai salah satu nilai etika perlu diperhatikan dalam masalah ini. Dari berbagai pertanyaan itulah dasar makalah ini dibuat.

B. Permasalahan

Dari paparan di atas dapat diidentifikasikan beberapa hal yakni :

1. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat.

2. Perkembangan sains dan teknologi memiliki dampak positif dan negatif yang begitu signifikan

3. Tidak menutup kemungkinan, sains dan teknologi akan berkembang lebih besar seiring perubahan zaman

Setelah melihat masalah di atas, rumusan permasalahannya adalah “apakah seorang ilmuan dapat serta merta mempublikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ia temukan kepada khalayak umum?”.

Kemudian masalah muncul adalah apakah seorang ilmuwan yang menemukan sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan maka apa yang harus dia lakukan? Apakah dia menyembunyikan penemuan tersebut sebab dia merasa bahwa penemuan itu banyak menimbulkan kejahatan dibandingkan dengan kebaikan? Ataukah dia akan bersifat netral dan menyerahkannya kepada moral kemanusiaan untuk menentukan penggunaanya?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui tanggung jawab dan etika seorang ilmuan

2. Mengetahui batasan-batasan seorang ilmuan dalam mengembangkan keilmuannya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ilmu dan nilai

Ilmu dapat berkembang dengan pesat menunjukkan adanya proses yang tidak terpisahkan dalam perkembangannya dengan nilai-nilai hidup. Walaupun ada anggapan bahwa ilmu harus bebas nilai, yaitu dalam setiap kegiatan ilmiah selalu didasarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Anggapan itu menyatakan bahwa ilmu menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri, yaitu ilmu harus bebas dari pengandaian, pengaruh campur tangan politis, ideologi, agama dan budaya, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin, dan pertimbangan etis menghambat kemajuan ilmu.

Pada kenyataannya, ilmu bebas nilai dan harus menjadi nilai yang relevan, dan dalam aktifitasnya terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai hidup harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu jika praktiknya mengandung tujuan yang rasional. Dapat dipahami bahwa mengingat di satu pihak objektifitas merupakan ciri mutlak ilmu, sedang dilain pihak subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.

Setiap kegiatan teoritis ilmu yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan yang merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa yang merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, dan otoritas yang merupakan kepentingan ilmu sosial.

Dengan bahasan diatas menjawab pertanyaan mengapa ilmu tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai hidup. Ditegaskan pula bahwa dalam mempelajari ilmu seperti halnya filsafat, ada tiga pendekatan yang berkaitan dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup manusia, yaitu:

1. Pendekatan Ontologis

Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.

Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.

2. Pendekatan Epistemologi

Epistemologis adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan proses yang memungkikan dipelajarinya pengetahuan yang berupa ilmu.

Dalam kaitannya dengan moral atau nilai-nilai hidup manusia, dalam proses kegiatan keilmuan, setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.

3. Pendekatan Aksiologi

Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.

Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk itu ilmu yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.

B. Etika keilmuan

Ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan tertentu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam arti sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Suatu keharusan bagi ilmuwan memiliki moral dan akhlak untuk membuat pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan yang didalamnya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Disamping itu, pengetahuan yang sudah dibangun harus memberikan kegunaan bagi kehidupan manusia, menjadi penyelamat manusia, serta senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Di sinilah letak tanggung jawab ilmuwan untuk memiliki sikap ilmiah.

Para ilmuwan sebagai profesional di bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral, yang dalam filsafat ilmu disebut sebagai sikap ilmiah, yaitu suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif, yang bebas dari prasangka pribadi, dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan kepada Tuhan.

Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya ada enam, yaitu:

1. Tiada rasa pamrih (disinterstedness), merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dan menghilangkan pamrih.

2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.

3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind).

4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti ( conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.

5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset. Dan riset atau penelitian merupakan aktifitas yang menonjol dalam hidupnya

6. Memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu bagi kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia

Secara terminologi, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik dan buruk. Yang dapat dinilai baik dan buruk adalah sikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata dan sebagainya. Dalam etika ada yang disebut etika normatif, yaitu suatu pandangan yang memberikan penilaian baik dan buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak.

Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan yang mempunyai pengaruh pada proses perkembangannya lebih lanjut. Tanggung jawab etika menyangkut pada kegiatan dan penggunaan ilmu. Dalam hal ini pengembangan ilmu pengetahuan harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan ekosistem, bersifat universal dan sebagainya, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia dan bukan untuk menghancurkannya. Penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dapat mengubah suatu aturan alam maupun manusia. Hal ini menuntut tanggung jawab etika untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan tersebut merupakan hasil yang terbaik bagi perkembangan ilmu dan juga eksistensi manusia secara utuh.

C. Tanggung jawab sosial ilmuan

Kita dapat menegaskan kembali bahwa tujuan sains ialah menemukan pengetahuan yang benar mengenai berbagai keadaan alam semesta. Tanggung jawab etis seorang ilmuan dapat mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Tetapi harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Khaliknya.

Kesadaran etis ini memungkinkan manusia dapat memperhitungkan akibat perbuatannya bahkan dapat mengetahui perkembangan-perkembangan ataupun kejadian-kejadian yang tak terduga di masa depan. Tanggung jawab etis beserta kesadaran etisnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan dapat membimbing untuk menentukan dan memutuskan apakah keputusan tindakan manusia yang berupa ilmu pengetahuan, seharusnya dilakukan dan bagaimana “aturan main” yang diterapkan.

Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan serta teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasarkan keputusan-keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Pene­muan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah suatu aturan, baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab agar selalu menjaga apa yang diwujudkan dalam perubahan tersebut yang menjadi perubahan terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.

Ilmuwan juga mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa seorang ilmuan terikat pada etika dan tanggung jawab dalam menetapkan suatu ilmu baru. Peran terpenting seorang ilmuan adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat sungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengem­bangkan diri manusia, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia itu sendiri.

Tanggung jawab seorang ilmuan menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi di mana terjadi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.

B. Saran

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan demikian memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengeta­huan dan teknologi akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada apa yang dapat diperbuat olehnya tetapi perlu pertimbangan apakah memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat dalam kerangka kedewasaan manusia yang utuh.

Etika peranan seorang ilmuan sebagai pelopor munculnya disiplin-disiplin ilmu baru harus memikirkan pula tanggungjawab manusia dalam keputusan tindakannya. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilaksanakan secara mitologis-religius, filosofis maupun secara ilmiah teknologis. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal, yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, dan mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari.

DAFTAR PUSTAKA

Rachman, Maman. dkk. 2006. Fisafat Ilmu. Semarang: UPT MKU Unnes

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

linguistik sebagai ilmu impiris dalam perspektif fisafat ilmu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa adalah alat kominikasi yang digunakan manusia sebagai pengantar pesan dan maksud dari seseorang ke orang lain. Dalam kontek ilmiah, bahasa tidak saja bisa dipandang sebagai sarana komunikasi individu atau kelompok untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan, kegelisahan, cinta, kebencian, opini, dan sebagainya kepada individu atau kelompok lain, tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu ilmu yang digunakan untuk mengetahui seluk beluk bahasa itu sendiri.

Secara populer orang sering menyatakan bahwa ilmu bahasa adalah Linguistik. Kata ”linguistik” sendiri berasal dari bahasa Latin lingua (bahasa). Dalam bahasa-bahasa Roman (bahasa yang berasal dari bahasa Latin) masih ada kata-kata serupa dengan lingua itu, yaitu langue dan langage dalam bahasa Perancis, dan lingua dalam bahasa Itali. Linguistik merupakan salah satu cabang ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu humaniora atau ilmu pengetahuan budaya. Cabang ilmu ini mempelajari seluk-beluk bahasa.

Dalam sejarahnya, perkembangan linguistik tidak bisa dipisahkan dengan nama Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) yang dipandang sebagai Bapak linguistik modern. Ketenaran Saussure di kalangan para linguis bukan saja karena jasa-jasa pada aspek-aspek terinci mengenai bahasa tetapi juga pada peletakan dasar-dasar filosofis ilmu linguistik khususnya yang berkaitan dengan binary opposition (seperti dalam konsep langue versus parole, sinkronis versus diakronis, hubungan sintagmatig versus paradigmatik, dan signifie dan signifiant).

Ilmu-ilmu seperti spikologi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya, sering disebut ilmu empiris. Artinya, ilmu-ilmu tersebut berdasarkan fakta dan data yang dapat diuji oleh ahli tertentu dan juga oleh semua ahli lainnya. Demkian pula dengan ilmu linguistik.

Bayangkan seorang ahli linguistik yang meneliti urutan kata. Ia menemukan bahwa dalam bahasa Jepang verba (kata kerja) terdapat pada akhir kalimat. Hal yang sama ia temukan dalam bahasa Turki, dan dalam berbgai bahasa irian Jaya, maka ahli itu menyimpulkan bahwa semua bahasa di dunia mempunyai urutan kata sedemikian rupa sehingga kalimat tersebut berakhir dengan verba. Dasarnya tentu saja empiris : urutan kata itulah diteukannya dalam banyak bahasa.

Dalam ilmu empiris peneliti menjauhkan diri dari “keyakinan” yang berdasarkan fakta. Tidaklah cukup jika ahli linguistik merasa bahwa misalnya dalam suatu bangsa di Irian adalah primitif karena konsep primitif tidak ada dasar empirisnya. Ataupun tidaklah cukup jika ahli linguistik merasa yakin bahwa setiap bahasa di dunia mestinya memiliki ajektiva (kata sifat), karena hal seperti itudapat didasarkan hanya atas dasar empiris saja (sebernarnya, ada sejumlah bahasa di dunia yang memang tidak memiliki ajektiva).

Linguistik itu salah satu ilmu, maka hal tersebut tidak akan lepas dari fisafat ilmu. A. Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual. Selanjutnya Benjamin membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang: (1) telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah, dan struktur logis dari sistem perlambangan ilmiah, (2) penjelasan mengenai konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan-landasan empiris, rasional, atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya, dan (3) aneka telaah mengenai saling keterkaitan di antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta.

Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini mencoba melihat kemungkinan linguistik sebagai ilmu dengan berargumentasi dari persepktif filsafat ilmu dan memakai prasyarat keilmuan (aspek ontologis, epistimogolis, dan aksiologis) sebagai tolok ukur kemandirian linguistik sebagai ilmu.

B. Permasalahan

Dari paparan di atas dapat diidentifikasikan beberapa hal yakni :

1. Linguistik adalah ilmu bahasa

2. Linguistik sebagai ilmu empiris meiliki fakta dan data yang dapat diuji kebenarannya

3. Linguistik sebagai ilmu tidak lepas dari filsafat ilmu

Setelah melihat masalah di atas, rumusan permasalahannya adalah “bagaimana linguistik dalam perspektif fisafat ilmu dalam aspek ontology, epistimologi, dan aksiologi?”.

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui korelasi antara linguistik dan filsafat ilmu

2. Mengetahui linguistik dalam perspektif filsafat ilmu.

3. Mengetahui manfaat linguistik itu sendiri


BAB II

PEMBAHASAN

Pada dasarnya disiplin ilmu linguistik telah mengalami tiga tahap perkembangan. Tahap pertama adalah tahap spekulasi artinya kesimpulan itu dibuat tanpa didukung oleh bukti-bukti empiris dan dilaksanakan tanpa menggunakan prosedur-prosedur tertentu.

Tahap kedua adalah observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini para ahli bidang bahasa baru mengumpulkan dan menggolongkan segala fakta bahasa dengan teliti tanpa memberi teori atau kesimpulan apapun.

Tahap ketiga adalah perumusan teori. Pada tahap ini setiap disiplin ilmu berusaha memahami masalah-masalah dasar dan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai masalah itu berdasarkan data empiris yang dikumpulkan. Kemudian dikumpulkan hipotesis yang berusaha menjawab pertanyaan itu dan menyusun tes untuk menguji hipotesis terhadap fakta-fakta yang ada.

Disiplin linguistik dewasa ini sudah mengalami ketiga tahap diatas. Artinya disiplin linguistik saat ini sudah bisa dikatakan merupakan kegiatan ilmiah. Linguistik mendekati bahasa sebagai bahasa. Pendekatan ini sejalan dengan ciri-ciri bahasa sebagai berikut :

Pertama, karena bahasa adalah bunyi ujaran, maka linguistik melihat bahasa sebagai bunyi.

Kedua, karena bahasa itu bersifat unik, maka linguistik tidak berusaha menggunakan kerangka suatu bahasa untuk dikenakan pada bahasa lain.

Ketiga, karena bahasa adalah suatu sistem, maka linguistik mendekati bahasa bukan sebagai unsur terlepas, melainkan sebagai kumpulan unsur yang satu dengan yang lainnya mempunyai jaringan hubungan.

Keempat, karena sifat empirisnya, maka linguistik mendekati bahasa secara deskriptif bukan perskriptif.

Dalam filsafat ilmu, ilmu dibangun di atas suatu struktur yang memiliki tiga aspek (1) ontologis yang merupakan jawaban terhadap apa yang menjadi objek sebenarnya (proper object) dari ilmu tersebut, (2) epistemologis yang mengacu pada metode atau cara bagaimana objek tersebut dikaji untuk mendapat pengetahuan, dan (3) aksiologis yang berhubungan dengan kebermaknaan pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia. Secara kuantitatif ilmu terus berkembang dan yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa yang menentukan macam ilmu tersebut dan apa yang membedakan suatu ilmu dengan yang lainnya.

1. Aspek Ontologi Linguistik

Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.

Setiap ilmu harus mempunyai objek sebenarnya (proper object) yang berwujud objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena yang ditelaah oleh ilmu sedangkan objek formal adalah pusat perhatian dalam penelahaan terhadap fenomena. Tidak bisa disangsikan lagi bahwa ilmu bisa memiliki objek material yang sama tetapi perbedaan sudut pandang terhadap objek material yang sama akan menghasilkan macam ilmu yang berbeda. Dalam hal ini Linguistik dikatakan memiliki objek material yakni bahasa.

Bahasa yang dibahasa dalam linguistic adalah bahasa secara umum. Artinya, linguistik tidak menyelidiki salah satu bahasa saja seperti bahasa Perancis atau bahasa Indonesia, tapi linguistic menyangkut bahasa pada umumnya.

2. Aspek Epistimologi Linguistik

Epistimologis adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan proses yang memungkinkan dipelajarinya pengetahuan yang berupa ilmu.

Ilmu linguistik sendiri sering disebut linguistik umum, artinya ilmu linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja tetapi juga menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa ilmu linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada umumnya.

Sedangkan linguistik teoretis memuat teori linguistik, yang mencakup sejumlah subbidang, seperti ilmu tentang struktur bahasa (grammar atau tata bahasa) dan makna (semantik). Ilmu tentang tata bahasa meliputi morfologi (pembentukan dan perubahan kata) dan sintaksis (aturan yang menentukan bagaimana kata-kata digabungkan ke dalam frasa atau kalimat). Selain itu dalam bagian ini juga ada fonologi atau ilmu tentang sistem bunyi dan satuan bunyi yang abstrak, dan fonetik, yang berhubungan dengan properti aktual seperti bunyi bahasa atau speech sound (phone) dan bunyi non-speech sound, dan bagaimana bunyi-bunyi tersebut dihasilkan dan didengar.

Setiap ilmu pengetahuan biasanya terbagi atas beberapa bidang bawahan. Dalam linguistik misalnya, ada linguistik antropologis atau cara penyelidikan linguistik yang dimanfaatkan ahli antropologi budaya, ada sosiolinguistik untuk meneliti bagaimana dalam bahasa itu dicerminkan hal-hal sosial dalam golongan penutur tertentu. Tetapi bidang-bidang bawahan tersebut mengandaikan adanya pengetahuan linguistik yang mendasari.

Bidang yang mendasari itu adalah bidang yang menyangkut struktur dasar tertentu, yaitu struktur bunyi bahasa yang bidangnya disebut fonetik dan fonologi; struktur kata atau morfologi; struktur antarkata dalam kalimat atau sintaksis; masalah arti atau makna yang bidangnya disebut semantik; hal-hal yang menyangkut siasat komunikasi antarorang dalam parole atau pemakaian bahasa, dan menyangkut juga hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan, atau disebut pragmatik.

3. Aspek Aksiologi Linguistik

Aspek aksiologis suatu ilmu pengetahuan bersifat pragmatis berhubungan dengan nilai dan manfaat bagi kemanusiaan. Dengan meminjam istilah ilmu ekonomi, sebagai suatu produk (identik dengan komoditi) hasil sebuah aktivitas atau proses ilmiah setiap ilmu pengetahuan pasti memiliki nilai guna (utility) dan kebergunaan (usefulness). Misalnya kapal selam adalah suatu produk iptek. Sebagai kapal selam, dia memiliki nilai guna (utility) tersendiri tetapi kebergunaannya (usefulness) hampir tidak ada bagi suatu negara yang tidak memiliki laut (seperti Swiss). Ilustrasi ini juga bisa diproyeksikan kepada Linguistik.

Sebagai ilmu, nilai guna yang dimiliki disiplin ini tercermin dalam tujuan dibangunnya ilmu itu sendiri yakni untuk mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. Untuk kepentingan pengembangan linguistik itu sendir,i Linguistik telah memberikan kontribusi berupa alternatif model kajian kebahasaan. Linguistik memberikan pemahaman tentang hakekat bahasa dan menunjukkan kemungkinan keterkaitan penerapan berbagai pendekatan yang berbeda terhadap data-data kebahasaan.

Kebergunaan Linguistik ditunjukkan oleh kemungkinan yang diberikan oleh disiplin ilmu ini untuk memahami komunikasi antar kelompok masysrakat yang mampu memperluas wawasan kita terhadap bahasa orang lain yang pada gilirannya nanti mampu memperkokoh kecintaan terhadap bahasa sendiri.

Roman Jacobson, salah satu ahli linguistik yang meneliti secara serius pembelajaran dan fungsi bahasa, memberi penekanan pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Bagi Jacobson, bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu:

a. Fungsi referensial sebagai pengacu pesan;

b. Fungsi emotif, sebagai pengungkap keadaan pembicara;

c. Fungsi konatif sebagai pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak,

d. Fungsi metalinguistik sebagai penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan,

e. Fungsi fatis sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan

f. Fungsi puitis sebagai penyandi pesan11.

4. Manfaat Linguistik

Sebenarnya setiap ilmu, berapapun teoritisnya, tentu mempunyai manfaat praktis bagi kehidupan manusia. Begitu juga dengan linguistik.

Bagi linguis sendiri pengetahuan yang luas mengenai linguistik tentu akan sangat membantu dalam menyelesaikan dan melaksanakan tugasnya. Bagi peneliti, kritikus, dan peminat sastra linguistik akan membantunya dalam memahami karya-karya sastra dengan lebih baik,

Bagi guru, terutama guru bahasa, pengetahuan linguistik sangat penting, mulai dari subdisiplin fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, sampai dengan pengetahuan mengenai hubungan bahasa dengan kemasyarakatan dan kebudayaan. Sebetulnya, bukan hanya guru bahasa yang harus mempunyai pengetahuan linguistik, guru bidang studi lain pun harus juga memiliki pengetahuan itu seperlunya.

Bagi penyusun kamus atau leksikografer menguasai semua aspek linguistik mutlak diperlukan, sebab semua pengetahuan linguistik akan memberi manfaat dalam menyelesaikan tugasnya.

Pengetahuan linguistik juga memberi manfaat bagi penyusun buku pelajaran atau buku teks.

Manfaat linguistik bagi para negarawan: Pertama, sebagai negarawan atau politikus yang harus memperjuangkan ideologi dan konsep-konsep kenegaraan atau pemerintahan, secara lisan dia harus menguasai bahasa dengan baik. Kedua, kalau politikus atau negarawan itu menguasai masalah linguistik dan sosiolinguistik.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian dan ilustrasi terdahulu secara singkat dapat disimpulkan bahwa Linguistik memenuhi syarat sebagai ilmu empiris karena disiplin ini bisa dibangun di atas landasan ontologis, epistimologis dan aksiologis yang jelas berbeda dari bidang kajian kebahasaan lain seperti mikrolinguistik, sosiolinguistik. Linguistik merupakan disiplin ilmu interpretative yang mengupas bahasa untuk menemukan pemahaman tentang bahasa itu sendiri. Walaupun pendekatan ilmu pengetahuan ini bersifat eklektik tapi tetap mempertahankan kekhasannya dalam pemilihan data kebahasaan sebagai objek studi (yakni parole) dengan ancangan yang bersifat ideografis dan kecenderungan penerapan metodologi kulatitatf pendekatan fenomenologis.

B. Saran

Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bidang linguistik di berbagai universitas terkemuka.

Kita nantinya yang akan menjadi salah satu guru bahasa hendaknya mengetahui linguistic itu senidiri. Sepaya dalam kegiatan belajar mengajar guru dapat menguasai kelass dengan baik. Linguistikmembekaliguru dengan kemampuan untukmenganalisis aspek-aspek bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik) yang berguna dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan hambatan yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul.1993.Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta

Rachman, Maman. dkk. 2006. Fisafat Ilmu. Semarang: UPT MKU Unnes Press

Soeparno.2003.Dasar-dasar Linguistik.Yogyakarta: Mitra Gama Widya

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

http://en.wikipedia.org/wiki/Linguistics.